Sabtu, 14 Januari 2017

Edisi Jalan-Jalan

jalan jalan bersama keluarga. hampir disetiap kesempatan kami gunakan untuk berkumpul dengan keluarga dan orang-orang terdekat.
momen-moment yang terekam kamera handphone;
pantai pandawa Bali Island




kebun teh pagilaran Batang 





Ntambi Kebun Teh (Dieng ) lewat Ngadirejo Temanggung






 Kyai Langgeng Magelang Jawa Tengah





Kyai Langgeng Magelang Jawa Tengah






Kawah Condrodimuko Dieng Plateau 





 Gunung Bromo Probolinggo Jawa Timur




Kawah Condrodimuko Kawasan DIeng Plateau 



 Kawah Condrodimuko Kawasan DIeng Plateau






 Plabuhan Batang





 Plabuhan Batang






 Taman makam Kyai Langgeng Magelang Jawa Tengah







 Kolam Renang Ikan Bakar Sempu Limpung Batang







 Masjid Agung Semarang Jawa Tengah






 Alun-alun Limpung Batang 





 Pantai Kuripan Subah Batang





Pantai Kuripan Subah Batang


Jika kita mendengar kata : “ B A L A D E W A “, terutama bagi mereka yang pecandu ceritera wayang, pasti akan pikirannya hanyut kealam dunia wayang, Dimukanya terlihat : deretan wayang yang rapi,seorang dalang yang lincah dan pesinden yang suaranya merdu serta parasnya aduhai……………………….dan sebagainya dan sebagainya.
Alkisah…………………………………………………………………………………………………………………,
Konon……………, pada waktu ratusan tahun lebih yang telah silam,ada seorang laki-laki tua yang mengembara di kaki gunung perahu.
Waktu itu musim kemarau panjang.
Keadaan gersang,dedaunan banyak yang kehilangan fungsi,berubah menjadi penyala api. Sumber – sumber airpun tak ketinggalan pula mengalami perubahan total,menjadi sumber debu panas.
Termasuk didalamnya Sang pengembara itu.
Dalam keadaan yang demikian, Sang pengembara tetap tenang.
            Apakah gerangan bekal Sang pengembara itu ?
Konon kabarnya,ia membawa bekal sebuah tongkat rotan,seekor ayam jantan putih dan seekor kambing jantan hitam belang putih pada perutnya.binatang ini ialah binatang kesayangannya.
            Pada suatu hari,sampailah ia pada suatau tempat yang agak nyaman. Disini ia berusaha mencari air,untuk member minum binatang kesayangannnya. Menoleh kekanan kekiri,namun tak terlihat air setetespun.
Demi kasih sayang pada binatang kesayangannya,bersenadilah ia untuk mohon petunjuk kepada yang maha kuasa. Sementara ayam dan kambing dilepas disampingnya. Setelah mendapat petunjuk,iapun mulai menggoreskan tongkatnya pada tanah. Ternyata bekas goresan tongkat itu keluar air. Gembiralah hatinya,diberinya minum secukupnya binatang itu tak lupa ia menyampaikan syukur kepada yang maha kuasa.
Dengan kondisi badan yang kelihatannya lema,roman muka keriput,rambut kusut memutih dan pakaian lusuh,ia mencoba meneruskan perjalanan kea rah utara. Karena ia perlu membawa air,maka sebelum ia beranjak dari tempat itu, ia sempat memberi nama tempat itu :  S A N G U B A N Y U “. Ayam dan kambingnya setia mengikutinya. Selama ia berjalan,tongkatnya selalu digoreskan pada tanah (ditarik) sehingga air mengalir sepanjang goresan tersebut.
            Kambing dan ayamnya hilang.
Kira-kira 30 menit ia berjalan,terasa kambing dan ayamnya tidak mengikuti. Iapun berhenti mencarinya. Setelah dicari kesana kemari tidak terdapat, ia hamper putus asa. Sambil istirahat menoleh kekanan kekiri, terlihatlah olehnya sebuah batu besar. Dengan hati berdebar tak menentu,bercampur harapan gembira,ia mendekati batu itu. Apa yang terjadi disitu ? batu itu berbentuk Bangkok jongkok,berongga. Diamatinya batu itu secara cermat dibarengi rasa tanpa kepastian,tiba-tiba ia mengubah posisi badannya. Tangan seperti akan menerkam, matab melotot tajam,punggung membungkuk,kakikiri kedepan dan kaki kanan kebelakang. Seolah-olah akan maju, seolah akan mundur.
A a a a a a h . . . . . , ! ! ! kambing dan ayam sudah mati dalam rongga batu.
Sejenak sekujur badannya lemah lunglai, segera ia bangkit kembali dengan semangat dan jiwa yang meyakinkan, ia segera akan melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat, ia sempat memberi nama tempat ini :  “ P E S A N G G R A H A N “ (tempat istirahat) dan batu diberi nama : “ B A N G K O N G “.
Sebagai tanda kenangan,setiap tahun pada masa tanam padi musim penghujan harus diberi selamatan dengan lauk panggang ayam jantan putih dan kambing kendit ( warna hitam tengah putih ). Sampai sekarang masih dilestarikan.
            Perjalanan diteruskan kearah utara
Dari tempat ini ia berjalan seorang diri. Tongkat tetap ditarik, airpun setia mengikutinya. Makin keutara keadaan jalan makin sukar,curam,padas batu baginya bukan suatu hambatan.kurang lebih dua jamia berjalan,tibalah ditempat yang lebih sulit,yaitu merupakan bukit padas dan batu.
Sejenak ia membaca mantera,mohon kepada yang maha kuasa,untuk diberi pertolongan dalam melaksanakan cita-citanya, berkat pertolongan yang maha kuasa,maka ia menusukkan tongkat, tembuslah bukit padas itu berupa terowongan yang hamper putus. Sampai sekarang bukit itu disebut : G U N U N G   T U G E L.
           


Maron
Pengembaraan tidak berhenti sampai disini saja.
Terus keutara . . . . . . . . terus. Dibelakangnya tetap terlihat tongkat yang menggores tanah yang diikuti air. Situasi menjadi indah. Baaimana tidak.
Terpaan sinar bola angkasa yang sangat garang itu, dipantulkan oleh lika likunya air dibelakang tongkat. Dari jauh keliatan bagai zik zak seekor ular yang mampu menguasai tebing yang curam.
Tidak terasa tiba – tiba pengembara sampai di tempat yang datar. Pandangan lepas kearah utara, dan barat.pemandangan disini lebih semarak lagi.
Sejauh mata memandang kearah utara,terlihat cakrawala biru tua, makin kebawah biru muda,kebawah lagi kuning keputih-putihan,itulah. . . . . .Laut Jawa. Disini ia mempunyai dua keinginan,ke utara dan kearah barat. Ia memutuskan pendapatnya. Air yang mengikutinya dibagi dua, sebagian kearah utara sebagian kebarat. Karena ia lebih cenderung kea rah barat, maka air yang mengikuti kea rah barat lebih besar.maka tempat ini disebut : “ M A R O N “ .
            Sekeprok, Sedengo, Seteleng.
Sang pengembara terus melenggangkan kakinya kearah barat. Entah karena apa setelah beberapa menit ia berjalan, tiba-tiba tergelincir,terjatuhlah ia. . . “ prok “ suaranya. Karena kerasnya ia jatuh, maka tongkatnya terpantal jauh kearah timur. Lama ia belum bangkit. Sang pengembara masih dalam posisiterduduk, pandangan jauh kearah timur,seperti layaknya melamun ( melongo) sementara pandangan dilempar kearah selatan dengan sinar mata yang tajam (menteleng,jw). Tampat ini disebutnya : S E K E P R O K “ dari kata keprok. Sebelah timurnya : S E D E N G O “ dari kata melongo. Yang satu disebut : “ S E T E L E N G “ dari kata menteleng.
Sibobor
Bangkitlah sang pengembara itu dari duduknya. Tangan kiri menapak pada tanah tangan kanan memegang lutut sebelah kanan, ia berdiri. Dengan rasa sedih, ia melemparkan pandangan kesegala penjuru. Kebetulan tidak jauh dari tempat ia beridri, terlihatlah seorang perempuan sepertiga umur. Dasar laki-laki, meskipun setua itu masih mampu menyanjung ( nyandra,jw) : wah cantiknya,manisnya,bibirnya yang basah,senyum yang aduhai . . . . .menawan. tapi sayang . . . . . . .sayang. . . . . .aku sudah tua. Perempuan itu tak mampu mengenalkan diri padanya. Ia mengumpat dan membaca mantera. Wanita disekitar tempat ini sulit mendapatkan jodoh. Terutama yang sudah lanjar (janda muda belum punya anak), maka tempat ini saya berikan nama : “ S I B O B O R “. ( dari kata bobor = tidak laku. )   
Sawangan, sawangan .
Ia meneruskan perjalanan. Kemana dia ? dia tidak meneruskan keaarah barat. Sekarang ke timur menuju tempat maron, mencari tongkat yang mental tadi.tidak terdapat, musnah, hilang misterius.
Apa yang dilihatnya ? hanya aliran air yang menuju arah utara.
Diikutinya aliran air itu. Aliran air makin jauh ke utara makin kecil
            Karena lelahnya dan tongkat tetap menghilang, berhentilah ia ditempat itu. Ia duduk di sebuah batu besar sambil menarik napas panjang.
Ia menghadap keselatan, memandang aliran air yang dibuatnya. Bangga rasanya. Sedang asyiknya menikmati ( memandangi ) hasil karyanya, dating seorang laki-laki muda didepannya. Orang muda itu bertanya : “ apakah kakek yang menjaga sungai ini ! “bukan ! jawabnya tegas. “ saya adalah yang membuat sungai ini ! “ bolehkah saya memanfaatkan sungai ini “ . pinta laki-laki itu.
“boleh tapi ada syaratnya. Kamu harus menjaga serta memelihara sungai ini sebaik-baiknya,supaya dapat lestari. Karena sungai ini saya buat atas petunjuk yang maha kuasa,maka daya wajib bersyukur kepada NYA. Sebagai rasa syukur atas anugerah ini,kepada semua pemakai air ini harus nanggap wayang kulit setiap tahunnya, pada masa tanam padi musim penghujan, dengan cerita : “ R A M A     T A M B A K “. Dan sungai ini diberi nama kali (Wangan) “ B A L A D E W A”, yang artinya : BALA = TEMAN,    DEWA = YANG MAHA KUASA.
Sedangkan tempat ini diberi nama “ S A W A N G A N “ , yang artinya NGREKSA WANGAN ( memelihara sungai ).
Tanpa disadari oleh laki-laki muda itu, sang kakek telah hilang dari pandangannya.
                        Demikian dongeng dari serangkaian terjadinya nama BALADEWA. Terlepas dari aspek ilmiah, kebenaranya saya serahkan kepada yth. Para pembaca. Sampai sekarang semua pesandari Sang pembuat kali BALADEWA masih lestari dilaksanakan.

 terima kasih.

bpk soewondo 

PENYUSUN.
                        


                         Beliau adalah pencipta tunggal dokumen “ BALADEWA YANG BUKAN TOKOH WAYANG “. Bukan sekedar mengarang cerita yang kemudian ditulisnya kedalam dokumen pribadi beliau. Demikian pula cerita ini yang ditulis kembali (di salin) untuk mengenang beliau yang wafat pada minggu manis tanggal 17 juli 2011 bertepatan dengan malam nisyu sa’ban (72 th).
menanti hadirnya sang  buah hati kedunia ini.
sementara umurnya baru 7 bulan dan segera dibuatkan selamatan mitoni menurut orang jawa agar supaya anak dan ibunya didoakan selalu dalam keadaan sehat. amin